Kata Siapa Dampak Seruan Boikot Produk (Terafiliasi) Israel Kecil?
Aksi boikot produk-produk yang terafiliasi dengan negara Israel baik secara langsung maupun tidak langsung nyatanya berdampak signifikan kepada omzet perusahaan makanan cepat saji. Salah satu perusahaan makanan cepat saji yang terdampak mengaku kondisi saat ini lebih parah jika dibanding saat COVID-19.
Mendengar pengakuan seperti itu saya sejujurnya sedikit terkejut. Saya tidak pernah mengira bahwa dampak boikot yang dilakukan sekitar satu bulan oleh masyarakat Indonesia bisa mengalahkan penurunan omzet selama 12 bulan saat pandemi.
“Jauh lebih parah saat ini jika dibandingkan saat COVID-19,”
kata salah satu Direksi perusahaan makanan cepat saji beberapa waktu lalu.
Sebagian dari brand-brand besar seperti McD, KFC, hingga Pizza Hut mengirim rilis kepada awak media yang isinya memberikan donasi kepada warga Palestina.
Manajemen sadar bahwa saat ini seruan boikot ini akan menurunkan keuntungan penjualan secara terus menerus. Untuk itu mereka sangat terpukul dengan kondisi semacam ini jika terjadi jangka panjang.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memproyeksikan efek dari aksi boikot ini akan menggerus penjualan produk hingga 20%-40%. Produk-produk yang mengalami penurunan antara lain seperti susu untuk bayi, lansia, hingga kebutuhan sehari-hari.
Dampak terburuknya akan menurunkan perekonomian Indonesia secara nasional. Sebab, sebagian besar ekonomi nasional ini didorong oleh sektor ritel.
Pengusaha saat ini hanya bisa berupaya untuk terus memperlihatkan dukungan moral kepada rakyat Palestina. Upaya ini dinilai sebagai cara untuk memperbaiki kepercayaan konsumen terhadap brand.
Sejujurnya saya juga belum memahami secara jelas apakah upaya ini dapat mengembalikan kepercayaan konsumen untuk kembali mengkonsumsi produk dari brand-brand ternama itu.
Instruksi MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa Nomor 83 Tahun 2003 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina yang diteken pada 8 Oktober lalu.
Menurut penjelasan MUI dalam fatwa tersebut jelas melarang umat islam untuk tidak menggunakan kembali produk dari brand yang terafiliasi oleh negara penjajah tersebut.
Kampanye ini langsung diikuti MUI-MUI di daerah. Salah satunya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim mengeluarkan instruksi untuk memboikot produk yang terafiliasi dengan Israel pada 13 November.
Salah satu influencer dengan pengikut 1,2 juta di instagram membuat sebuah video vlog tentang boikot brand-brand ternama untuk kebutuhan sehari-hari. Ia pergi ke sebuah supermarket untuk belanja kebutuhan bulanan.
Dalam video tersebut itu terlihat untuk tidak lagi menggunakan produk-produk dari perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok Zionis. Beberapa di antaranya seperti Unilever, Nestle, Lipton, dan banyak lainnya. Pengikutnya pun memberikan rekomendasi tambahan produk lain yang terafiliasi dengan Israel. Hal ini tentu memperlihatkan bagaimana semangat masyarakat untuk tidak lagi menggunakan produk yang terafiliasi dengan Israel.
Saya mengakui bahwa aksi semacam ini akan berpotensi menggerus pendapatan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan akan mengurangi pekerja yang mana adalah warga Indonesia sendiri. Selain dari pekerja dampak lainnya seperti pengurangan kebutuhan bahan baku, pengurangan kebutuhan logistik.
Di sisi lain produk-produk dalam negeri akan memiliki potensi pendapatan yang tumbuh, penyerapan tenaga kerja, hingga kebutuhan bahan baku. Meski hal ini tak semudah seperti yang saya tuliskan.
Namun satu hal yang perlu saya tegaskan bahwa, saat ini masyarakat sedang sedih, marah, dan kecewa dengan aksi-aksi kekerasan yang di luar nalar manusia telah terjadi di depan mata. Kelompok Zionis telah melancarkan bom kepada anak-anak, ibu-ibu, rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah.
Oleh karena itu mereka mungkin hanya ingin meluapkan kekesalannya dengan tidak membeli produk-produk yang telah saya sebutkan itu. Banyak orang mendesak dan mengutuk aksi biadab yang sangat jelas dari negara penjajah ini.
Bagaimana menurut kalian?